Keajaiban Waktu 2 ( lanjutan )


Hubungan Surat Al 'Ashr dengan Surat Ash Shaaf : 10

Surat Al ‘Ashr : 1 - 3  

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Surat Ash Shaaf : 10

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih ?”

Latar Belakang

Mengapa kedua hal tersebut berhubungan, karena sungguh-sungguh ada korelasi yang amat erat bahkan tak terpisahkan satu sama lain antara kerugian (Al ‘Ashr) dan perniagaan (Ash Shaaff : 10). 

Bagi niagawan, azab yang paling pedih adalah khusrin (bangkrut) tentu hal ini, dalam dakwahnya dipandang oleh Rasulullah dapat menarik hati para saudagar di Makkah saat itu. Terlebih masa itu profesi berniaga termasuk yang banyak ditekuni oleh warga di sana. Sehingga peluang inilah yang dilihat oleh Rasulullah yang notabene juga adalah seorang niagawan bisa menjadi opening dakwah yang akan segera mengundang respon positif.

Aspek Modal

Dalam Surat Al ‘Ashr, waktu (peluang) kita asumsikan sebagai modal yang paling berharga karena ia tidak bisa kembali. Hadits berikut mungkin bisa menjadi ilustrasi :

“Barangsiapa yang dua harinya (hari ini dan kemarin) sama maka ia telah merugi, barangsiapa yang harinya lebih jelek dari hari sebelumnya maka ia tergolong orang-orang yang celaka”

Dalam perspektif perniagaan dikatakan suatu usaha mengalami laba ketika modal meningkat (hari ini lebih baik dari kemarin) dan disebut rugi saat modal stagnan (hari ini sama dengan kemarin) lalu dinyatakan bangkrut yaitu kalau modalnya justru mengalami penyusutan (hari ini lebih buruk dari kemarin).




Difirmankan Allah bahwa setiap insan mengawali masa kehidupannya dengan kerugian. (nol laba).

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,”

Lalu bagaimana cara agar terhindar dari khusr (kerugian) ?

“... kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati dengan kebenaran dan nasihat menasihati dengan kesabaran.”

Menjadi orang beriman dan beramal shaleh

Iman dan amal shaleh merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Iman ialah menerima Al Haq dengan segala keuntungannya, disertai menolak Al Bathil dengan segala kerugiannya.

Meskipun begitu banyak yang beranggapan kadangkala harus mengerjakan hal yang benar dengan resiko merugi. Itu adalah hal yang mustahil.

Atau bahkan untuk mencari keuntungan meskipun dengan jalan yang batil. Tentu sering kita dengar pameo, “Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Refleksi keputusasaan umat atas yang dialaminya dalam kehidupan duniawiah.

Kalau di masa lalu, Allah turunkan azab hanya karena mengurangi timbangan, apakah di masa kini yang tender pengadaan timbangannya saja sudah dimark-up, mengapa tidak ada azab ? Jawabnya, ya masih ada ! Hari ini azab itu disebut resesi, krisis moneter atau krisis ekonomi hanya saja manusia modern sudah tidak meyakininya lagi dengan segala analisanya yang ujung-ujungnya menafikan ada hubungannya dengan Allah.



Untuk itu kami mengajak mari kita senantiasa memperbaharui keyakinan bahwa yang haq justru untuk memudahkan urusan dan sebaliknya yang bathil  sebenarnya menyulitkan. Belum lagi mengenai konsekuensinya di kehidupan selanjutnya. 

Beriman saja boleh dikatakan hanya sebatas menunaikan perintah atau sering disebut `gugur kewajiban’.

Orang beriman melaksanakan shalat yang fardhu saja tetapi orang yang shaleh menambahkan amalnya dengan yang sunnah. Orang iman puasa ramadhan saja, orang shaleh plus shaum sunnah yang lain. Orang beriman berzakat 2,5 %, orang shaleh tidak membatasi prosentase 2,5 % mereka melebihkannya lagi.

Dalam konotasi perniagaan, orang beriman balik modal sudah cukup, sedangkan orang yang shaleh membutuhkan laba untuk membiayai ibadahnya yang plus-plus tadi untuk berzakat yang tak terbatas, untuk berinfaq, bershadaqah, wakaf di atas tuntunan syariah yang minimal.

Demikian pula dalam dakwah, orang beriman berpendapat yang penting sudah menyampaikan, titik, perkara apakah orang mau menerima atau tidak itu urusan Allah. Orang shaleh terus-menerus bergerak jiwa raganya bagaimana supaya berdakwah sambil meminimalisasi resistensi dan terus-menerus mencari upaya agar dakwah dapat diterima dengan metode-metode baru yang senantiasa dievaluasi.

Itulah makanya orang yang beriman yang beramal shaleh tidak akan mendapat azab yang pedih. 

Cukupkah ? Tidak, masih ada lanjutannya yaitu :

“…saling taushiyah dalam kebenaran dan saling taushiyah dengan kesabaran.”

Saling menasihati dalam menyampaikan kebenaran dengan tidak membatasi kesabaran dalam cara menyampaikannya. Gigih, ulet, terus-menerus, evaluasi, pantang menyerah itulah sabar. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ksatria Mujahid Sejati : Gunawan Wibisono

Mimpi Nyata